Monday, October 19, 2015

Menunggu Matahari Terbit

Kalau saja kita mengatur waktu sesuka hati, maka aku akan membuat matahari terbit sekarang. Bukan karena aku benci dnegan kegelapan malam, atau karena aku ingin membangunkan orang sedang tidur telelap itu. Tetapi itu lebih kerana aku ingin memulai hari esok lebih cepat lagi.
Masih 2 jam lagi, sinar cahaya akan terlihat dari balik bukit itu. Namun para ayam jantan sudah bersahutan-sahutan kegirangan. Sungguh aneh, Mereka tak pernah belajar tentang waktu, tapi mereka tetap berkokok di jam sama setiap harinya. Kalau pun mereka mempunyai alarm sendiri, bagaimana bisa seakurat itu.
Namun aku cukup senang, dari sekian banyak penduduk kampung sini, kakek kiai masih tetap menjadi yang pertama menginjakan kaki di surau. Sebuah rekor yang tak kunjung terpecahkan. Entah karena memang beliau yang sulit dikalahkan atau memang karena masyarakat kampung sini yang terlalu malas untuk bangun sebelum azan subuh.
Mungkin sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu surau itu belum ada, hanya masjid yang menjadi pusat tempat ibadah kampung Natal ini. Sekitar 800 meter dari sini. Segitu pulalah jarak yang di tempuh kaki tua kakek kiai itu setiap subuhnya. Namun beliau cukup beruntung, Waktu pemilu legislatif yang lalu ada seorang caleg baik hati –kalaupun bisa dibilang baik hati, yang mau menyumbangkan dananya untuk menyiapkan bangunan surau yang sudah terbengkalai sekian lama.
Jika shalat subuh berlalu, tanah pun belum terang seutuhnya. Hanya sekedar dapat melihat agar tak tersandung batu yang berserakkan di jalan yang tak kunjung selesai dibangun. Para lelaki kampung sini sudah siap memakai pakaian tempurnya. Pergi Menderes, menjadi pekerjaan utama para lelaki disini, baik itu kebun sendiri ataupun kebun orang lain yang hasilnya dibagi dua.
“ Pak Darmin, minum kopi dulu, getahnya takkan lari kemanapun.”
Minum kopi, memang kegiatan wajib sebelum memulai pekerjaan. Padahal selalu ada pilihan minuman lain, seperti teh yang baik untuk kesehatan. Namun kopi selalu menjadi pilihan utama kaum lelaki. Entah karena rasanya yang sering membuat jantung berdegup seperti ingin menyatakan cinta pada seorang wanita. Atau kopi menjadi minuman yang cukup enak jika ditemani sebatang rokok dan sebuah gorengan.
“ Bagaimana harga getah sekarang pak Darmin?”
“ Turun terus pak mulin. Entah apa yang dilakukan pemerintah kita, BBM terus naik, tapi harga getah lebih sering turun daripada naik.”
“ Beginilah nasib kita orang kecil ini memang.” Kata pak mulin dengan sedikit mengeluh.
“ Pak Darwin, saya dengar anak bapak berangkat olimpiade ke kabupaten hari ini. Wah saya senang sekali mendengarnya. Ternyata masih ada anak kampung sini yang bisa berprestasi. Tidak seperti anak lain yang membuat orang tua susah saja. Ada yang tertangkap berjudi, narkoba, dan yang lainnya. Pening kepala melihat kelakuan mereka.”
“ Sudahlah pak Mulin, tak usah mengeluh melihat pemuda sekarang. Marilah sama-sama kita menjaga anak kita biar jangan terjerumus ke jalan yang salah.”
*****
Olimpiade, sejak kelas VII SMP aku bermimpi untuk mengikutinya. Bukan agar aku menjadi salah satu orang yang terlihat pintar di sekolah. Tetapi karena ini jalanku satu satunya agar bisa pergi ke kabupaten. Orang bilang kabupaten adalah tempat yang menyenangkan. Penuh dengan toko-toko yang berjejeran disepanjang jalan, mobil yang beiring-iringan dijalan raya, serta tiang tiang traffic light yang menunjukan ke-modern-annya.
100 kilometer jaraknya dari kampungku, bukan jarak yang dekat. Butuh waktu 6 jam bagi kami untuk bisa sampai kesana dengan angkutan umum. Waktu yang terlalu lama memang untuk jaraknya. Namun apa boleh dikata, jalan yang jelek serta sulitnya membelah bukit barisan menjadi penghalang utama.
Belum sampai setengah perjalanan sudah peneh kantung plastic itu dengan muntahnya bu SG. Berulang kali ia kutengok mengoleskan minyak telon kejidatnya. Namun apa boleh dikata, berbelok-beloknya jalan serta goncangan moil karena jalannya berlombang cukup membuat perut ini melilit karenanya. Kalau saja aku tak menuruti nasehat ibuku tadi mungkin aku juga akan seperti ibu SG.
Enam jam sudah, sampailah kami di sebuah tempat yang disebut orang terminal itu. Sungguh tempat yang luar biasa, sangat ramai, suara teriakan orang dimana-mana. Jangan harap kau temui tempat seperti ini dikampung kami. Para tukang becak berebutan menawarkan jasanya. Walaupun tak seperti yang kutonton di film-film, tapi tempat ini sungguh luar biasa.
Cukup canggung memang melangkahkan kaki di tempat besar seperti ini untuk pertam kalinya. Tidak seperti dikampung. Kita bebas berlari kemanapun sesuka hati tanpa takut menabarak orang lain. Paling-paling kalo kita sial hanya pohon pisang yang akan kita langgar. Itupun kalo kita benar benar sial.
“ selamat datang di Panyabungan.” Seoarang pria cukup tua menyapa kami. Seumuran mungkin dengan ayahku.
Kami hanya tersenyum. Kulihat ibu SG, bercakap cakap pelan dengannya. Entah apa yang mereka beicarakan. Mungkin mengenai tempat menginap kami selama 3 hari kedepan. “ semua sudah siap ” hanya itu yang terdengar olehku.
“ silahkan ikuti saya, saya akan antar menuju penginapan.”
*****
Sebelumnya aku pernah mendengar dari salah satu kawanku yang pernah kekabupaten, bahwa toge, kipang, bika, incor-incor adalah jajanan yang hanya bisa dijumpai disini. Namun, dari semua jenis makanan itu toge panyabungan adalah yang paling membangkitkan seleraku.
Toge panyabungan, jangan salah sangka ini bukanlah nama kecambah kacang hijau seperti yang biasa kita kenal. Melainkan ini adalah minuman khas dari daerah Mandailing, khususnya Panyabungan. Bentuknya hampir sama dengan minuman es cendol, cuman sedikit berbeda karena ada campuran manisnya gula aren dan gurihnya santan.
Lupakan tentang makanan, aku teringat besok harus bertanding, makanan dan yang lainnya dapat menunngu setelahnya. Meski tujuanku ikut Olimpiade ini hanya agar bisa berkunjung ke kabupaten, tapi setidaknya aku harus membayar ongkos kunjunganku dengan membawa pulang hadiah juara. Membuktikan sekolah kampung kami tak kalah dengan sekolah mereka yang lebih beruntung di kota kabupaten ini.
*****
Malam telah hilang, makanya saatnya pembuktian. Hari ini adalah olimpiadenya diselenggarkan. Aku dan lima temanku sudah siap bertempur. Sangkin siapnya kami sudah disini satu jam sebelum pagar gedung ini dibuka.
“ Pemenang akan selalu datang pertema.” Itulah kata Ibu SG.
Entah darimana ia dapat pepatah itu. Kami sih percaya saja, toh taka ada ruginya datang satu jam lebih awal. Selain kami bisa menikmati kota ini lebih cepat kami juga bisa mempersiapkan mental dan jiwa kami.
“ bagaimana semuanya, sudah siap mengalahkan yang lain.” Kata ibu SG memberikan semangat.
“ Siap bu.” Semua menjawab dengan sangat percaya diri.
Siallah mereka menjadi sainganku, aku selalu merasa lebih unggul dari mereka. Itu karena aku telah mempersiapkan diri sejak satu setengah tahun yang lalu. Mempelajari berbagai buku fisika yang kupunya agar bisa terpilih sebagai utusan sekolahku dan dibawa ke kabupaten.
Ujian dimulai.
“ Jika sebuah batang dengan luas penampang A dilakukan gaya sebesar F dan mengalami perubahan panjang sebesar ∆x maka hitunglah Modolus Young dari batang tersebut ?” Soal pertama.
Aku tersenyum, bukan kerana aku dapat menjawab soalnya. Tapi karena pertanyaan soal pertama saja tak pernah kuketahui. Siapa itu Modolus Young? Yang penting bukanlah nama kakekku. Satu hal yang kusadari, murid kampung tetaplah murid kampung, banyaknya buku yang kupelajari ternyata tak sesuai dengan kualitas buku yang mereka pelajari. Lamanya aku mempersiapkan diri juga ternyata tak sebanding dengan kesiapan mereka mengikuti ajang ini
“ Cukup kacau aku, 5 soal pertama saja aku tak mengerti sedikitpun, agaimana dengan 35 soal berikutnya.” Benakku.
Hilanglah semangat yang besar tadi. Kutengok kedepan seorang murid dengan lancar mengcoret-coret kertasnya. Sepertinya dia murid dari salah satu SMP dari kota sini. Terlihat dari pakaian yang rapi dan bagus. Dua orang di silang sebelahnya, anak itu tanpak kusut sama seperti aku, mungkin ia anak kampung juga yang kebetulan terpilih bersaing dengan anak pintar di pusat kabupaten ini.
Aduh minta ampunlah aku atas kesombonganku, anak kampung yang terlalu menyombongkan dirinya sendiri. Aku jawablah saadanya, seadanya kemampuanku. Hanya 20 soalah yang aku bisa, itu dengan segala kemampuan yang kumiliki.
Namun kamu tau cerita tentang orang kampung yang suka bertaruh, maka aku bertaruh disini. Beruntung aku soalnya adalah pilihan berganda dengan penilaian 4 untuk yang benar dan -1 untuk yang salah. Toh hanya juara 1, 2, dan 3 yang akan dibawa ke propinsi. Serta peringkat 4 dan 5 yang hanya akan mendapat sertifikat. Mengingat 20 tidak akan mampu membawaku ke propinsi, maka jadilah aku bertaruh untuk posisi 4 dan 5. Siapa tau hari ini aku beruntung.
****
“ bagaimana ujiannya?” Bu SG bertanya selesai kami keluar dari ruangan masing masing.
“ kacau bu, ibu tau kenapa sekolah kita hanya sekali juara. Karena memang sekolah mereka jauh lebih baik bu.” Kataku pada SG.
Sekolah kami memang pernah menjadi juara dalam ajang Olimpiade kabupaten ini. Itu pun hanya sekali. Taruna Siddiq, itulah orang pertama dan mungkin yang terakhir membawa pulang piala juara. Wajar memang, ia adalah salah satu anak orang paling kaya di kampung kami. Sehingga, setidaknya selain ia pintar, buku-buku dan bahan pembelajarannya jauh lebih baik dari kami sekarang ini.
“ Sudahlah tidak boleh seperti itu, hasilkan belum keluar. Jadi masih ada harapan, mereka hanya terlihat pintarnya saja, belum tentu jawaban mereka adalah yang paling benar.” Kata bu SG menghibur kami dengan sikap sangat percaya dirinya.
“ Ibu positif sekali.” Kata lia salah satu temanku.
“ sudahlah ayo kita jari jalan-jalan disini, toh ujian sudah selesai dan kita masih disini. Hiruplah udara kota ini, jangan hanya hirup udara bercampur garam dan lumpur dikampung saja.”
Ibu SG memang sungguh pandai merangkai kata, walaupun terkadang entah apa maksudnya. Hiruplah udara kota, bukan berarti itu sama saja dengan menghirup asap. Tapi ya sudahlah, apapun maksud Ibu SG setidaknya ia bermaksud baik menghibur kami yang masih terbawa suasan ujian tadi.
Ajaibnya toge panyabungan, sungguh minuman yang menggetarkan lidah. Entah bagaiman mereka membuatnya, campuran rasa cendol, tapai, ketan hitam, cendil bercampur menjadi satu. Sungguh rasa yang menggetarkan lidah.
Dua temanku sepertinya masih terbawa suasan ujian tadi, hanya sedikit mereka bercakap-cakap itupun kalau ada yang menanyai. Aku pun sebenarnya masih sedikit kecewa, namun mengingat tujuanku ikut Olimpiade ini adalh untuk pergi ke kabupaten, aku mencoba itu tidak memikirkannya. Toh aku sudah mengeluarkan semua kemampuanku. Selain itu aku cukup yakin dengan pertaruhan yang kulakukan tadi.
*****
Libur yang menyenangkan, setelah kepulangan kami dari kabupaten Ibu SG memberi kami libur satu hari sebelum masuk sekolah lagi. Sangat cocok untuk menenangkan fikiran setelah cukup memeras otak di pertandingan kemarin. Hasilnya memang belum keluar, kata mereka butuh waktu sekitar 2 minggu untuk memeriksa lembar jawaban seluruh peserta yang mengikutinya.
“ Aih anak kabupaten, sudah pulang bagai mana hasilnya?” teriak pak Mulin dari kursi paling ujung lopo kopi itu.
“ belum keluar paman.” Sahut ku
Ada sebuah cerita menarik dikampung sini. Kampung ini memang tidak dijangkau internet, taka da media social seperti facebook, twitter, apalagi Instagram, namun banyaknya lopo kopi disini sangat cepat menyebarkan berita. Jangan harap aka ada hal bisa disembunyikan dikampung ini. Jangankan berita keberangkatanku ke kabapaten sebagai utusan untuk Olimpiade. Anak ayam yang mati tertabrak sepeda pun akan diketahui semua penduduk.
“ Kamu memang membanggakan, senang betul paman melihat prestasimu. Tidak seperti anak yang lain, buat terus kampung kita bangga.” Kata pak Mulin Padaku.
“ sudahlah paman.”
Ah malu betul aku mendengar perkataan pak Mulin. Bukan karena perkataanya bahwa aku membuat bangga kampung sini. Tapi lebih karena aku tau hasilnya nanti tak akan sesuai dengan kebanggaan mereka. Maka, jadilah aku hari ini dirundung cemas.
“ Pak Mulin, ini anak pak darmin yang ikut olimpiade kabupaten itukan.?” Kata seorang pria paruh bayah saat memasuki lopo kopi ini.
“ O, iya Pak Samin, inilah kebanggaan kita.”
“ Bagus, bagus, bagus…” kata pak samin sambal menepuk-nepuk bahuku.
Lengkap sudah kecemasanku, tenyata semua orang kampung sini sudah beranggapan lebih padaku. Sikap mereka berdua cukup menyadarkanku untuk pentingnya sebuah keseriusan. Belum lagi nanti cerita disekolah tentang reaksi teman dan guru-guru yang lainnya. Pening sudah kepalu dibuatnya. Takut aku mengacau harapan mereka jika mereka tau hasilnya.
Maka, dimulailah haruku berkurung diri. Sejak hari itu aku putuskan tak pergi kemanapun kecuali sekolah sebelum hasil keluar. Termasuk ke lopo kopi yang biasa aku singgahi hanya sekedar untuk menonton televise dan bermain catur. Namun, belum apa-apa berita menngemparkan sampai ditelingaku. Tentang keberhasilanku sebagai juara olimpiade kabapaten.
Aku terperenjat, geram nian hatiku, entah darimana mereka mendapat berita itu. Siapa gerangan mulutnya yang tak bisa dikontrol dan seenak perutnya. Akhirnya selidik demi selidik, pak Mulin adalah pelakunya. Marah betul aku pada pak Mulin, tapi apa yang bisa diperbuat. Pak Mulin jauh lebih tua dariku, hiilanglah kesopananku jika aku datang melabraknya. Kalu saja yang membuat berita itu orang sebayaku tentu akan ketenggelamkan ia di sungai Batang Natal itu.
*****
Rupanya bermula dari percakapan hari itu, setelah aku pergi meninggal pak Mulin dan Pak Samin di lopi kopi itu. Mereka terus menceritakan keberangkatanku sebagi utusan olimpiade. Pak Mulin memang terkenal dengan mulutnya yang tak bisa dikotrol. Entah apa yang difikirkannya, apa mungkin karena kebanggaanya padaku yang berlebihan, atau hanya karena ia senang mengarang cerita, maka jadilah aku anak kampuung sini yang menjuarai olimpiade kabupaten.
Penuhlah sudah penderitaanku. Belum lagi menghadapi pertanyaan teman teman disekolah. Namun apa boleh dibuat telur sudah direbus, maka taka da lagi yang bisa kulakukan. Tak mungkinkan aku berahrap waktu diulang agar bisa belajar lebih lagi dan menjadi juara.
*****
Kampung Natal, Ada banyak cerita dari pemberian nama natal ini. Mulai dari para pelaut dulu yang pertama kali mendarat disini mengira mereka mendarat di Natal, Amerika Selatan, Hingga cerita ketika para tentara Portugal yang mendarat bertepatan dengan hari natal. Namun, meskipun demikian, jangan kau harapkan mudah menemui gereja dan kaum nasrani disini. Hal ini karena penduduknya hampir semuanya adalah Muslim, paling hanya satu dua orang yang beragama nasrani itupan karena penempatan tugas.
Ada 3 suku utama yang menghuni kampung ini, Melayu, Mandailing, dan Minang. Sehingga kulturasi budaya sangat kental disini. Sangkin kentalnya anak-anak kampung sini bahkan tidak tau ia berada pada suku yang mana. Aku juga tak pernah tau suku mana sebernnya Pak Mulin. Jika diingat-ingat menurut cerita ayahku kakeknya adalah orang mandailing, neneknya adalah orang Melayu serta ibunya adalah orang minang. Maka cukuplah Pak Mulin jadi symbol kampung sini.
“ Juara,” teriak Pak Mulin Padaku sambal menghisap rokok tanpa filternya.
Masih kesal aku pada pak Mulin, maka hanya tersenyum sajalah yang bisa kuberikan sebagai bentuk kesopananku. Namun paman lagi-lagi membuatku terperongok diam.
“ sang juara masuk, tolong kasih jalan.” Katanya pada seisi warung.
Hilang sudah kesabarankaku melihat tingkah lakunya. Pikiranku mulai berubah padanya, aku tak lagi mengangap ia bangga padaku, tapi lebih untuk meledekku.
“ sudahlah paman, hasilnya juga belum keluar juga. Masih dua hari lagi baru pengumuman.” Jawabku ketus padanya
Ia hanya tersenyum sambal menyeduh kopi hitamnya. Menghirup dalam-dalam tarikan rokoknya tanpa takut akibatnya.
“ santai saja, kau pasti juara.” Katanya padaku.
Selanjut berlalulah aku meninggalkan Pak Mulin dengan mulutnya yang seperti ayam betina yang baru bertelur itu. Sudah cukup sakit kuping ini mendengar ocehannya tentang aku yang menjadi juara. Namun, ada juga senangku melihat tingkahnya itu, dari mulutnya yang besar itu ternyata belliau sangat percaya padaku.
*****
Setahuku, ada banyak alasan mengapa orang tak bisa tidur. Kasmaran dengan wanita cantik kampung sebelah, memikirkan padi disawah yang tak kunjung panen, atau pun karena menonton pertandingan sepak bola antara Real Madrid vs Barcelona yang selalu ditunggu para kaum lelaki. Dari semua alasan ini menonton sepak bola menjadi alasan yang paling sering didengar.
Sebenarnya, aku sudah yakin dengan hasil yang akan diumumkan besok. Namun entah mengapa malam ini akupun tak bisa tertidur. Masih terngiang ngiang ditelingaku kata juara Pak mulin. Aku tak tau apa reaksinya besok jika dia tau aku bukanlah juaranya. Maka, jadilah aku menunggu matahari terbit seperti malam-malam sebelumnya.
*****
Ada suatu kebiasaan yang selalu dilakukan manusia untuk menutupi perasaannya. Berpura-pura tersenyum. Maksudku berpura-pura tersenyum menetupi kekecewaannya meskipun sebenarnya ia sudah tau akan hasilnya. Maka jadi aku sebagai suatu sample dari sifat manusia itu.
“ Ibu bangga padamu.” Kata Bu SG padaka.
Aku hanya tersenyum, mataku belum bisa lepas dari kertas A4 70 mg yang tertempel di dinding lorong sekolah. 30 nama tercantum disitu sebagai juara 1 sampai 5 untuk 6 cabang mata pelajaran olimpiade kabupaten semalam. 3 tabel dari table pertama adalah daftar dari nama murid yang terpilih sebagai juara 1 sampai 5 mata pelajaran fisikia.
“ Selamatnya, kamu juara 5 pada Olimpiade kemarin. Tapi cukup kecewa dengan kamu, kamu masih saja bertaruh sepertinya.” Kata bu SG padaku.
“ terima kasih ibu,”
Ada satu lagi sifat manusia yang kuketahui hari ini, pertama ia akan senang dengan hasil pencapaiannya, namun ia juga akan suka berandai-andai untuk hasil yang lebih baik. Inilah orang yang tak bersyukur, setidaknya itulah yang sering dikatakan kakek kiai sehabis shalat magrib di surau.
Sehingga, jadilah aku hari ini orang yang tak bersyukur. Aku masih saja memikirkan seandainya aku tidak bertaruh kemarin maka akulah yang dibawa ke propinsi sebagai orang ketiganya. Bagaimana tidak dilihat dari jumlah benar, punyaku lebih banyak 2 soal dari yang posisi juara III-nya. Meskipun kalah 9 soal dari yang juara 1 dan II. Namun mereka tak masuk hitungan, begitulah fikiranku.
Belum sepenuhnya aku ikhlas dengan hasil yang kuterima hari ini maka datanglah Pak Mulin dengan mulut besarnya.
“ bagaimana hasilnya? Kamu juara tidak.” Tanya pak Mulin padaku.
“ nomor 5 paman.” Jawabku seadanya.
“ anak muda, kita tak perlu menyesali apa yang telah kita perbuat. Itu sama saja dengan kita tak bersyukur.” Kata pak Mulin padaku tiba tiba.
“ Aku tidak menyesal paman, hanya saja kecewa dengan sifatku sendiri.”
“ juara berapapun bukan sesuatu yang penting, tapi lihatlah siapa yang menjadi juaranya.”
Aku mengerti maksud pak Mulin, tapi tetap saja aku menyesal dengan keputusan yang kuambil hari itu.
“ semuanya, ini dia juara 5 olimpiade kabupaten.” Teriak pak Mulin sambal mengangkat tanganku di lopo kopi ini.
Meledaklah tertawa orang selopo kopi itu. Aku hanya tersenyum sedikit. Namun satu yang kusadari dari sikap pak Mulin padaku. Ia masih saja meneriakkanku juara 5 dengan cara yang sama seperti meneriakanku juara olimpiade kabupaten kemarin. Masih dengan kuat suara yang sama, masih dengan intonasi dan artikulasi yang sama.
*****
Seperti menunggu matahari terbit, kita selalu tahu bahwa pukul 5 setelah sholat subuh nanti matahari itu akan muncul dari timur sana. Namun tak pernah ada jaminan bahwa sinarnya akan sampai kebumi ini.


EmoticonEmoticon