Mau tidak mau ia harus percaya. Tak
selamanya apa yang ia pikirkan akan sama dengan kenyataannya. Meski seluruh
rumus rumus eksak telah digunakan dan hasilnya sama. Meski seluruh elemen di
bumi telah setuju bahwa itu sama. Satu
dua, kita memang tak pernah tau apa yang dipikirkaan orang lain. Kita
terkadang lupa bahwa ada banyak alasan yang membuatnya menjadi berbeda. Dan
kita terkadang kita hanyut dalam pemikiran kita hingga kita bersua pada satu titik dimana orang menjawabnya dengan bentuk yang berbeda, dan itu benar. Pada titik
ini ia percaya.
Ribuan orang lalu lalang ditengah
teriknya hari ini. Lampu lantas silih berganti diperempatan jalan. Suara
klakson kendaraan sahut sahutan membentuk suara teriakan iblis. Entah apa yang mereka kejar, tak ada yang
bisa sabar menunggu semenit saja sang lampu merah. Bahkan mungkin bagi mereka
sang lampu merah adalah iblis yang akan memakan rezeki mereka hari ini.
Hera keluar dari tempat berteduhnya. Dengan
senyum kosong diangkatnya gitar untuk kesekian kalinya hari ini. Ia kembali
mencoba memanfaatkan satu menit yang diberikan sang lampu merah untuk mangais
rezeki.
“ misi bang sopir.”
Dengan jari jari kecilnya ia mulai
memetik gitar membentuk rentetan melodi nan indah. Suara merdu terdengar dari
bibir tipisnya. –ya, hanya itu yang bisa ia digunakannya untuk menarik beberapa receh dari
kantong penumpang–. Beberapa receh dan uang 2 ribuan terlihat masuki bekas
bungkus permen yang dijadikanya tempat pengumpul rezeki.
“ mbak suaranya bagus. Jadi penyanyi
aja.” celoteh satu penumpang
Sebuah senyuman terlihat dari wajah Hera
yang terlihat sedikit kotor. Namun wajah cantik masih terlihat di dalamnya.
Lampu merah barlalu Hera kembali ke
perteduhannya untuk menunggu giliran berikutnya. Memang sudah menjadi lumrah
bagi mereka ( para pengamen ) saling bergantian.
“ dapat berapa ra?”
“ lumayan ji.” Jawab Hera sambil
menghitung duit dibungkus permenya
“ iya kau cewek, cantik lagi, pasti
banyak terus. Lah aku... !@#!@#.” Jawab Aji sedikit kesal melihat duit yang
diperolehnya hari ini.
“ apa sih...?” sebuah wajah bahagia
terlihat diwajahnya.
Sembari menunggu giliran Hera kembali
terhanyut dalam lamunannya, lamunannya untuk bisa jadi seorang penyanyi. Cita
cita klasik yang hampir dimiliki seluruh pengamen sepertinya.
*************
Panas kota medan hari tak seperti
biasanya, meski jarak sang surya hampir 150 juta kilometer, namun lidah lidahnya
hari ini seakan ingin membakar setiap arwah umat manusia. Alfi tersenyum entah
pada siapa, mungkin hanya sekedar penambah semangat untuk menjalani hari nan
terik ini.
“ akhirnya sampai juga”
Setelah hampir 20 menit dalam angkot Alfi
kembali bisa merasakan kehidupan. Terlihat pintu surga kecilnya tepat di depan
mata. Seolah tak ingin melepaskannya langsung langkah besar terlihat.
“ buru buru kali fi.”
“ capek bu ! pengen tidur.” Jawab Alfi
singkat.
Di tengah keletihannya hari ini Alfi
tergolek dikasur kecilnya. Dipasangnya sebuah radio dengan volume rendah untuk
telinganya sendiri. Tiba tiba matanya tertuju pada poster Cristiano Ronaldo
didepannya. Alfi terkekeh sendiri, telah hampir setahun ia meninggalkan dunia
gamenya mencoba memasuki dunia nyata.
Ditengah kesendiriannya Alfi teringat
pada gadis lampu merah tadi. Suatu kejanggalan terlitas di otak kiri dan
kanannya. Tak pernah ia menemui pengamen
seorang gadis, biasanya hanyalah gerombolan lelaki dengan celana jean sobek dan
sedikit tato atau anting di telinganya.
“ kok cewek tadi ngamen? Kan masih
banyak kerjaan lain?” benak Alfi
***************
Hujan turun dengan derasnya, setiap
orang berlarian tak terkecuali Alfi, berusaha bersembunyi dari nikmat tuhan
yang satu ini. Hanya sedikit yang terlihat tetap beraktifitas dengan jas
plastiknya. Terdengar keluh kesah dari beberapa orang, mungkin bukan bermaksud
tidak mensyukuri tapi hanya kesal karena akan banyak agenda terlewati. Entahlah
“ hujan..hujan !.............” benak Alfi.
Hampir setengah jam terkurung di
halte mini itu, hujan mulai mereda, beberapa orang terlihat mulai melangkah
untuk agenda berikutnya. Tetapi tidak untuk Alfi, karena toh ia harus menunggu
angkot kesanyangannya. Mengkin akan memakan waktu hingga 15 menit lagi.
Dalam sisa sisa tetesan air hujan
terlihat beberapa orang memasuki halte tempat penantian Alfi. Alfi tersentak,
terlihat wajah yang tidak asing baginya, ya gadis itu. Gadis lampu merah yang
ditemuinya kemarin. Spontan Alfi senyum, entah apa maksudnya, mungkin hanya
sekedar bentuk keramahan.
“ bang, abang yang diangkot kemarin
kan?” Hera melontarkan sepatah pertanyaan sambil mengeringkan badannya.
Alfi sedikit terkejut, terlihat
keningnya sedikit mengkerut, mungkin keheranan, atau bingung, namun ada rasa senang
dihatinya karena gadis itu masih mengingatnya.
“ kau kenal ra?” tanya Aji rada
bingung.
“ ketemu pas lampu merah kemarin
bang.” Jawab Alfi spontan.
“ awas ji ganggu aja.” Potong Hera
Suasana langsung heboh karena tawa
dari kawan Hera yang lain. Sedikit senyum juga terlihat dari bibir Alfi. Aji
langsung pergi kesudut sambil membersihkan gitarnya.
“ nunggu angkot bang?” Hera membuka
percakapan.
“ iya, kalo orang mbak kok disini?”
jawab Alfi mencoba untuk ramah
“ o, lampu merah hujan bang, angkot
kalo jam segini agak sulit bang. Tapi tunggu aja sapa tau masih ada.”
Hari sudah hampir jam 18.00, hujan
masih belum reda, Alfi masih terjebak dihalte kecil bersama pengamen yang lain,
mereka memasuki dunianya masing masing, Alfi memasang headset untuk telinganya
sendiri, sementara Hera dan kawan kawanya menyanyi beberapa lagu dengan
diiringi gitar gitar mereka. Dalam dunianya kepala Alfi dipenuhi pertanyaan,
pertanyaan tentang Hera atau tentang pengamen pengamen yang lain. Namun seperti
ada membran penghalang, akan menjadi janggal baginya jika mempertanyakan hal
tersebut, karena toh mereka bercakap hanya untuk basa basi.
Dalam penasaran dan kebingungan Alfi,
Hera tiba tiba datang duduk kesampingnya.
“ makasih bang pujian kemarin.” Kata Hera
membuka kebisuan.
“ o, ya memang bagus suaranya kok, oh
ya kok ngamen.” Tanya Alfi memberanikan diri.
“ suka aja.” Senyum terlihat dari
bibir Hera, menampakkan wajah cantiknya meski hari sudah hampir gelap.
“ suka, just?” Tanya Alfi bingung.
“ iya, suka aja” jawa Hera
( here tersenyum lagi )
Alfi masih bingung dengan apa yang baru saja ia dengar. Sebuah jawaban yang bukan
harapannya.. Padahal Alfi berfikir bisa saja Hera menjawabnya dengan cerita sedih atau mungkin cerita
inspiratif, Tak habis pikirnya, ternyata kebingungannya akan Hera hanya
diselesaikan dengan satu kata “suka”.
*************
Setengah jam sudah hampir Hera dan Alfi
bercakap cakap, hujan mulai terlihat berhenti, angkot yang akan membawa Alfi
pulang sudah berhenti didepanya, meski banyak hal yang masih belum bisa
diterima akal pikiran Alfi. Namun mau
tidak mau ia harus menerimanya, karena tak semua orang berfikiran yang sama.
Setiap orang akan menanggapi hal yang berbeda dengan cara berbeda.
Dengan langkah dan kepala penuh
kebingungan Alfi memasuki angkot. Ingin rasanya Alfi mengahabiskan malam ini
untuk mewawancarai Hera dan kawan kawanya yang lain. Namun angkot yang
didepanya mungkin yang terakhir hari ini. Jika ia melewatkan angkot ini maka ia
harus rela berjalan kaki menuju surga kecilnya. Diangkat Alfi tangan ke arah Hera
dan pengamen yang lain. Senyum terlihat diwajah Hera, sebuah senyum yang sangat
cantik memperlihatkan gigi gingsulnya. –ya, terlalu cantik untuk jadi seorang
pengamen–.
***************
“ gimana lanjut atau kita balek?”
tanya Aji
“ balek deh ji, hujan udah dingin
ni.” Jawab Hera mengangkat gitarnya.
“ dingin, sini kupeluk.”
“ peluk? tu jono peluk.”
“Hahahah” tawa pecah dari kelompok
pengamen kecil itu, ya sebuah kontraksi otot untuk mengurangi dinginnya suhu
hujan malam ini.
Dalam langkahnya, kepala Hera penuh
kebingungan. Bingung akan pertanyaan
pertanyaan orang yang baru saja ditemuinya barusan. Bingun dengan cara
fikir orang tersebut. Bingung karena orang itu sulit menerima kalau ia menjadi
pegamen sekarang ini karena ia suka jadi pengamen. Meskipun masih ada alasan
lain mengapa ia menjadi pengamen. Namun baginya karena suka adalah alasan yang
paling tepat untuk dikatakan.#
OLEH : SAFRUL EPENDI ( TEKNIK MESIN , UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA )
GADIS LAMPU MERAH
Mau tidak mau ia harus percaya. Tak
selamanya apa yang ia pikirkan akan sama dengan kenyataannya. Meski seluruh
rumus rumus eksak telah digunakan dan hasilnya sama. Meski seluruh elemen di
bumi telah setuju bahwa itu sama. Satu
dua, kita memang tak pernah tau apa yang dipikirkaan orang lain. Kita
terkadang lupa bahwa ada banyak alasan yang membuatnya menjadi berbeda. Dan
kita terkadang kita hanyut dalam pemikiran kita hingga kita bersua pada satu titik dimana orang menjawabnya dengan bentuk yang berbeda, dan itu benar. Pada titik
ini ia percaya.
Ribuan orang lalu lalang ditengah
teriknya hari ini. Lampu lantas silih berganti diperempatan jalan. Suara
klakson kendaraan sahut sahutan membentuk suara teriakan iblis. Entah apa yang mereka kejar, tak ada yang
bisa sabar menunggu semenit saja sang lampu merah. Bahkan mungkin bagi mereka
sang lampu merah adalah iblis yang akan memakan rezeki mereka hari ini.
Hera keluar dari tempat berteduhnya. Dengan
senyum kosong diangkatnya gitar untuk kesekian kalinya hari ini. Ia kembali
mencoba memanfaatkan satu menit yang diberikan sang lampu merah untuk mangais
rezeki.
“ misi bang sopir.”
Dengan jari jari kecilnya ia mulai
memetik gitar membentuk rentetan melodi nan indah. Suara merdu terdengar dari
bibir tipisnya. –ya, hanya itu yang bisa ia digunakannya untuk menarik beberapa receh dari
kantong penumpang–. Beberapa receh dan uang 2 ribuan terlihat masuki bekas
bungkus permen yang dijadikanya tempat pengumpul rezeki.
“ mbak suaranya bagus. Jadi penyanyi
aja.” celoteh satu penumpang
Sebuah senyuman terlihat dari wajah Hera
yang terlihat sedikit kotor. Namun wajah cantik masih terlihat di dalamnya.
Lampu merah barlalu Hera kembali ke
perteduhannya untuk menunggu giliran berikutnya. Memang sudah menjadi lumrah
bagi mereka ( para pengamen ) saling bergantian.
“ dapat berapa ra?”
“ lumayan ji.” Jawab Hera sambil
menghitung duit dibungkus permenya
“ iya kau cewek, cantik lagi, pasti
banyak terus. Lah aku... !@#!@#.” Jawab Aji sedikit kesal melihat duit yang
diperolehnya hari ini.
“ apa sih...?” sebuah wajah bahagia
terlihat diwajahnya.
Sembari menunggu giliran Hera kembali
terhanyut dalam lamunannya, lamunannya untuk bisa jadi seorang penyanyi. Cita
cita klasik yang hampir dimiliki seluruh pengamen sepertinya.
*************
Panas kota medan hari tak seperti
biasanya, meski jarak sang surya hampir 150 juta kilometer, namun lidah lidahnya
hari ini seakan ingin membakar setiap arwah umat manusia. Alfi tersenyum entah
pada siapa, mungkin hanya sekedar penambah semangat untuk menjalani hari nan
terik ini.
“ akhirnya sampai juga”
Setelah hampir 20 menit dalam angkot Alfi
kembali bisa merasakan kehidupan. Terlihat pintu surga kecilnya tepat di depan
mata. Seolah tak ingin melepaskannya langsung langkah besar terlihat.
“ buru buru kali fi.”
“ capek bu ! pengen tidur.” Jawab Alfi
singkat.
Di tengah keletihannya hari ini Alfi
tergolek dikasur kecilnya. Dipasangnya sebuah radio dengan volume rendah untuk
telinganya sendiri. Tiba tiba matanya tertuju pada poster Cristiano Ronaldo
didepannya. Alfi terkekeh sendiri, telah hampir setahun ia meninggalkan dunia
gamenya mencoba memasuki dunia nyata.
Ditengah kesendiriannya Alfi teringat
pada gadis lampu merah tadi. Suatu kejanggalan terlitas di otak kiri dan
kanannya. Tak pernah ia menemui pengamen
seorang gadis, biasanya hanyalah gerombolan lelaki dengan celana jean sobek dan
sedikit tato atau anting di telinganya.
“ kok cewek tadi ngamen? Kan masih
banyak kerjaan lain?” benak Alfi
***************
Hujan turun dengan derasnya, setiap
orang berlarian tak terkecuali Alfi, berusaha bersembunyi dari nikmat tuhan
yang satu ini. Hanya sedikit yang terlihat tetap beraktifitas dengan jas
plastiknya. Terdengar keluh kesah dari beberapa orang, mungkin bukan bermaksud
tidak mensyukuri tapi hanya kesal karena akan banyak agenda terlewati. Entahlah
“ hujan..hujan !.............” benak Alfi.
Hampir setengah jam terkurung di
halte mini itu, hujan mulai mereda, beberapa orang terlihat mulai melangkah
untuk agenda berikutnya. Tetapi tidak untuk Alfi, karena toh ia harus menunggu
angkot kesanyangannya. Mengkin akan memakan waktu hingga 15 menit lagi.
Dalam sisa sisa tetesan air hujan
terlihat beberapa orang memasuki halte tempat penantian Alfi. Alfi tersentak,
terlihat wajah yang tidak asing baginya, ya gadis itu. Gadis lampu merah yang
ditemuinya kemarin. Spontan Alfi senyum, entah apa maksudnya, mungkin hanya
sekedar bentuk keramahan.
“ bang, abang yang diangkot kemarin
kan?” Hera melontarkan sepatah pertanyaan sambil mengeringkan badannya.
Alfi sedikit terkejut, terlihat
keningnya sedikit mengkerut, mungkin keheranan, atau bingung, namun ada rasa senang
dihatinya karena gadis itu masih mengingatnya.
“ kau kenal ra?” tanya Aji rada
bingung.
“ ketemu pas lampu merah kemarin
bang.” Jawab Alfi spontan.
“ awas ji ganggu aja.” Potong Hera
Suasana langsung heboh karena tawa
dari kawan Hera yang lain. Sedikit senyum juga terlihat dari bibir Alfi. Aji
langsung pergi kesudut sambil membersihkan gitarnya.
“ nunggu angkot bang?” Hera membuka
percakapan.
“ iya, kalo orang mbak kok disini?”
jawab Alfi mencoba untuk ramah
“ o, lampu merah hujan bang, angkot
kalo jam segini agak sulit bang. Tapi tunggu aja sapa tau masih ada.”
Hari sudah hampir jam 18.00, hujan
masih belum reda, Alfi masih terjebak dihalte kecil bersama pengamen yang lain,
mereka memasuki dunianya masing masing, Alfi memasang headset untuk telinganya
sendiri, sementara Hera dan kawan kawanya menyanyi beberapa lagu dengan
diiringi gitar gitar mereka. Dalam dunianya kepala Alfi dipenuhi pertanyaan,
pertanyaan tentang Hera atau tentang pengamen pengamen yang lain. Namun seperti
ada membran penghalang, akan menjadi janggal baginya jika mempertanyakan hal
tersebut, karena toh mereka bercakap hanya untuk basa basi.
Dalam penasaran dan kebingungan Alfi,
Hera tiba tiba datang duduk kesampingnya.
“ makasih bang pujian kemarin.” Kata Hera
membuka kebisuan.
“ o, ya memang bagus suaranya kok, oh
ya kok ngamen.” Tanya Alfi memberanikan diri.
“ suka aja.” Senyum terlihat dari
bibir Hera, menampakkan wajah cantiknya meski hari sudah hampir gelap.
“ suka, just?” Tanya Alfi bingung.
“ iya, suka aja” jawa Hera
( here tersenyum lagi )
Alfi masih bingung dengan apa yang baru saja ia dengar. Sebuah jawaban yang bukan
harapannya.. Padahal Alfi berfikir bisa saja Hera menjawabnya dengan cerita sedih atau mungkin cerita
inspiratif, Tak habis pikirnya, ternyata kebingungannya akan Hera hanya
diselesaikan dengan satu kata “suka”.
*************
Setengah jam sudah hampir Hera dan Alfi
bercakap cakap, hujan mulai terlihat berhenti, angkot yang akan membawa Alfi
pulang sudah berhenti didepanya, meski banyak hal yang masih belum bisa
diterima akal pikiran Alfi. Namun mau
tidak mau ia harus menerimanya, karena tak semua orang berfikiran yang sama.
Setiap orang akan menanggapi hal yang berbeda dengan cara berbeda.
Dengan langkah dan kepala penuh
kebingungan Alfi memasuki angkot. Ingin rasanya Alfi mengahabiskan malam ini
untuk mewawancarai Hera dan kawan kawanya yang lain. Namun angkot yang
didepanya mungkin yang terakhir hari ini. Jika ia melewatkan angkot ini maka ia
harus rela berjalan kaki menuju surga kecilnya. Diangkat Alfi tangan ke arah Hera
dan pengamen yang lain. Senyum terlihat diwajah Hera, sebuah senyum yang sangat
cantik memperlihatkan gigi gingsulnya. –ya, terlalu cantik untuk jadi seorang
pengamen–.
***************
“ gimana lanjut atau kita balek?”
tanya Aji
“ balek deh ji, hujan udah dingin
ni.” Jawab Hera mengangkat gitarnya.
“ dingin, sini kupeluk.”
“ peluk? tu jono peluk.”
“Hahahah” tawa pecah dari kelompok
pengamen kecil itu, ya sebuah kontraksi otot untuk mengurangi dinginnya suhu
hujan malam ini.
Dalam langkahnya, kepala Hera penuh
kebingungan. Bingung akan pertanyaan
pertanyaan orang yang baru saja ditemuinya barusan. Bingun dengan cara
fikir orang tersebut. Bingung karena orang itu sulit menerima kalau ia menjadi
pegamen sekarang ini karena ia suka jadi pengamen. Meskipun masih ada alasan
lain mengapa ia menjadi pengamen. Namun baginya karena suka adalah alasan yang
paling tepat untuk dikatakan.#
EmoticonEmoticon