Siang ini matahari sepertinya masih malas menunjukkan wajahnya, ia
masih menikmati kesendiriannya dibalik awan hitam diatas sana. Sesekali
angin terlihat menggulung debu dijalanan, menjadikannya pusaran kecil
yang siap menghancurkan apa saja yang dilewatinya. Sejurus kemudian,
rintikan hujan berturunan menyapa penghuni bumi yang menunggunya. Bukan
apa, hanya saja setiap tetesnya membawa kedamaian bagi setiap insan yang
masih bersyukur.
“ ayo makan ?” ajak tri teman sekosku
“ duluan ”
Sembilan jam telah berlalu sejak kukurim pesan itu. Rasanya tubuh ini tak bisa melakukan apapun lagi. Seluruh tenaganya telah terkuras hanya untuk memunculkan keberanian semalam. Perut inipun tak mau menerima apapun meski seharusnya sudah minta diisi. Bukan menyesal atau apa, hanya saja mulai timbul ketakutan dalam diri ini bahwa keberanian semalam hanya akan menghancurkan semuanya.
“ kenapa kau, galau dari tadi pagi kulihat, pigi lah makan dulu?” ujar tri
“o iya, bentar lagi”
Lantaran banyak melamun, hari ini tak satupun pekerjaan yang terselesaikan. Tidak dengan jadwal beres beres kamar yang seharusnya selesai tadi pagi, atau apalagi mengerjakan tugas besar yang diberikan bapak Bus dosen Super Sibuk itu.-sudahlah lebih baik mengisi tenaga ini kembali untuk menangkap anak panah yang sudah dilepas.
Aku menghela nafas panjang, akhirnya aku selesai untuk pagi ini. Ibu anita adalah pembeli terakhirnya. Segera kuregangkan otot otot kakiku yang mulai lelah berdiri sejak 2 jam yang lalu. Sekarang aku sadar ternyata inilah yang dirasakan bapakku setiap harinya, ia tak pernah megeluh sedikitpun. Betapa durhakanya aku jika tak bisa berterima kasih pada mereka untuk kasih sayang yang selama ini mereka berikan.
“sudah ayok kita makan dulu? ”
“iya pak”
“bagaimana kuliahmu?”
“Lancar Pak” jawabku singkat
“Kuliah itu yang betul, jangan kecewakan ibumu yang setiap malam mendoakanmu. Bagi kita orang yang pas-pasan ini taka da yang bisa kita andalkan selain kerja keras, dan kerja keras akan selalu dihargai.”
Mendengar ucapan bapak tak satupun kata keluar dari mulutku, dadaku penuh sesak dengan besarnya harapan mereka. Terkadang timbul sebuah perasaan takut dalam diri ini. Takut tak bisa membalas semua harapan mereka, takut bahwa ternyata apa yang aku lakukan selama ini hanyalah untuk mengecewakan mereka.
“sudahlah pak makan dulu, mau jadi apapun dirimu nanti, selama itu sesuai dengan keyakinanmu ibu akan selalu bangga padamu” sambung ibu
Ucapan ibu adalah ucapan terakhir di meja makan ini yang membahas tentang masa depanku. Percakapanpun berganti kesana sini membahas apa saja yang terlintas dikepala. Mulai dari sawah yang sudah harus dipagari agar tidak diganggu babi, sampai masalah lain yang terkadang aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Matahari mulai meninggi siang ini, mungkin selangkah lagi ia tepat diatas kepala. Dibawah pohon jambu disamping rumahku seekor kucing tidur dengan pulasnya, dengkuranya terdengar jelas menemaniku menunggui warung kecil ini.
Namun belum lama aku memperhatikan kedamaian kucing putih itu, sontak aku terkaget dengan suara yang memanggil namaku, aku tau itu adalah suara irna, temanku dari kampung sini semasa kami bersekolah di SMA kabupaten dulu.
“cie yang melamunkan mantannya.”
“mantan gundulmu, dari mana? Sahutku dengan sedikit kesal
“dari rumah, mana oleh-oleh?” jawab irna dengan tertawa
“roti ada di rumah, ambillah, bawakan aku minum sekaligus”
Irna sudah seperti adik perempuanku sendiri. Keluargaku sudah menganggap irna sebagai bagian keluarga kami, begitu juga keluarga irna menganggapku. Ibunyalah yang membantuku sehingga bisa bersekolah di SMA kabupaten dulu. Namun irna cukup beruntung, tamat SMA dan berkuliah satu semester ada pria baik yang melamarnya. Ia pun memilih untuk menunda sementara kuliahnya.
“apa kabar suamimu sama anakmu?”
“sehat, kalau kau kayak mana kabar mantan?”
“mungkin sehat. Gak ada pertanyaan lain ya?” jawabku kesal
“hahaha, maaf maaf maaf”
“tumben jam segini sudah berkunjung, biasanya masih sibuk mengurusi anak tercinta”
“si baby lagi pigi sama neneknya, kakak juga lagi kerja, daripada suntuk dirumah bagusankan mengunjungi kawan awak. Kamunya pulang kesini gak mau berkunjung kerumah.”
“kayak manalah, nanti suamimu marah pula, hahahaha”
“hmmmm, oh ya, kayak mana kok bisa putus dengan si D itu?” Tanya irna dengan mata penuh selidiknya.
Mendengar pertanyaan irna, kata kata tersendat di tenggorokanku, bukan apa, hanya saja aku tak tau harus menjawab apa. Kalau aku jawab secara versiku, irna akan tau sedikit saja kebohongan yang kubuat, namun jika kuceritakan yang sebenarnya aku yakin akan ada ceramah singkat tentang filosofi kehidupan yang baru saja dijalaninya.
“ ayolah cerita, tak apa, aku sudah pasti tau kamu yang berbuat ulah, hahahh”
Sekian detik berlalu akhirnya aku mengalah, ternyata dengan segala gerak gerik keingintahuannya membuatku menceritakan semuanya. Selain itu tak adil juga rasanya jika aku tak mau berbagi dengannya. Toh dulu ketika ia bermasalah dengansuaminya kupingku juga yang panas mendengar keluh kesahnya.
“wanita itu inginnya laki-laki mau menuruti permintaannya. menuruti permintaannya bukanlah sebuah pengorbanan, tapi hadiah cintamu untuknya”
Seperti serumpun ilalang yang terolang aling kesana kemari dibawa angin, maka seperti itulah perasaanku saat ini. Sesaat aku berharap bahwa pesan yang kukirim akan berbalas manis, sesaat lagi aku berharap bahwa terjadi kesalahan sehingga pesan itu tidak terjadi terkirim.- “apapun balasannya aku harus terima”. Begitu kataku menguatkan diri.
Siang berlalu, senja pun datang menutup hari ini. Kuberanikan diri membuka akun facebookku, belum kulihat ada tanda balasan atas pesan kukirim semalam, hanya tanda yang menunjukan pesan itu telah dibaca. Seketika perasaan takut dan bercampur kecewa membuat sesak dadaku. Takut dia marah dan justru membuatnya menjadi membenciku. Kecewa karena kenapa dia tidak membalas satu kata pun meski itu bukan jawaban yang baik untuk di berikan.
“mungkinkah dia marah?”benakku
Semenit berlalu, pikiranku bercampur aduk bak menjadi kumparan benang kusut. Semua hal yang seharusnya tak terpikirkan terlintas di kepalaku. Tanganku bergerak dengan sendirinya menggulir scroll mouse, mengklik apapun yang terlihat,-“sudahlah fikirku menenangkan diri”
Ingin rasanya segera kuhabiskan malam ini, namun mungkin Tuhan bermaksud lain. Sesaat sebelum laptop ini kututup. Sebuah pesan muncul di monitor itu, entah apa yang terjadi setelah itu, dunia ini serasa berhenti sejenak. Otak ini serasa tak berfungsi dengan baik karena organ pemompa darah ini tidak cukup menyuplaikan nutrisinya. Siapapun mungkin tak bisa mendefenisikan rasanya. Itu balasannya. Akhirnya pesan itu berbalas, akhirnya rasa itu berbalas.
Lima kali aku baca pesan itu lagi tanpa tertinggal satu huruf pun. Aku baca perkata hanya untuk meyakinkan diri bahwa aku tak salah dalam mengartikannya. Jika saja ada orang yang paling bahagia malam ini maka aku adalah salah satunya. Tuhan telah menjawab semua rasaku.
Namun, pada saat dimana tubuh ini bergetar karena rasa yang ia berikan, hati ini bimbang karena kalimat terakhir pada pesannya itu. “ dirinya menganggapku sebagai orang spesial, tapi kenapa kamu tak memintaku menjadikannya orang spesialku juga.” Aku tahu betul maksud dari kalimat itu, hanya saja aku tak tahu harus membalas apa. Semua kemungkinan buruk muncul di benakku.
Malam ini bulan tampak besar menerangi langit para penghuni malam. Lingkaran bulat tidak sempurnanya menghapuskan keburukan hati umat manusia. Kutatap langit itu dengan penuh kedamaian. Sisa rasa senja tadi belum hilang dari tubuhku, gejolaknya masih membuat tubuh ini tak bisa berfungsi dengan baik.
Detik berganti menit, menit berganti jam, aku masih duduk dengan segala ketakutanku. “ Haruskah aku menerima uluran tangannya, atau aku harus melewatkannya untuk menunggu waktu berikutnya ketika hati ini telah siap. Namun, bukankah dari semua waktu, waktu inilah yang aku nantikan. Apakah aku bisa menjawab semua rasa dan harapannya, hanya sajamelewatkan apa yang aku mulai, bisa jadi aku hanya mempermainkannya, dan justru membuatnya membenci semuanya.”
Hingga suara kokok ayam jantan pertama kompleks sini, kepalaku masih dipenuhi segala rasa. Namun, rasa ini bukan lagi seperti rasa yang 8 jam yang lalu, ini bukan ketakutan lagi, ini hanya sekedar rasa senangku yang terlalu besar sehingga mungusik rasa yang lain. Pikiranku telah mantap, akan kuambil semua resikonya.
“ Terima kasih Tuhan, telah memberiku waktu memilikinya, maka aku mohon padamu untuk menjaga waktu itu”
bersambung....
“ ayo makan ?” ajak tri teman sekosku
“ duluan ”
Sembilan jam telah berlalu sejak kukurim pesan itu. Rasanya tubuh ini tak bisa melakukan apapun lagi. Seluruh tenaganya telah terkuras hanya untuk memunculkan keberanian semalam. Perut inipun tak mau menerima apapun meski seharusnya sudah minta diisi. Bukan menyesal atau apa, hanya saja mulai timbul ketakutan dalam diri ini bahwa keberanian semalam hanya akan menghancurkan semuanya.
“ kenapa kau, galau dari tadi pagi kulihat, pigi lah makan dulu?” ujar tri
“o iya, bentar lagi”
Lantaran banyak melamun, hari ini tak satupun pekerjaan yang terselesaikan. Tidak dengan jadwal beres beres kamar yang seharusnya selesai tadi pagi, atau apalagi mengerjakan tugas besar yang diberikan bapak Bus dosen Super Sibuk itu.-sudahlah lebih baik mengisi tenaga ini kembali untuk menangkap anak panah yang sudah dilepas.
Aku menghela nafas panjang, akhirnya aku selesai untuk pagi ini. Ibu anita adalah pembeli terakhirnya. Segera kuregangkan otot otot kakiku yang mulai lelah berdiri sejak 2 jam yang lalu. Sekarang aku sadar ternyata inilah yang dirasakan bapakku setiap harinya, ia tak pernah megeluh sedikitpun. Betapa durhakanya aku jika tak bisa berterima kasih pada mereka untuk kasih sayang yang selama ini mereka berikan.
“sudah ayok kita makan dulu? ”
“iya pak”
“bagaimana kuliahmu?”
“Lancar Pak” jawabku singkat
“Kuliah itu yang betul, jangan kecewakan ibumu yang setiap malam mendoakanmu. Bagi kita orang yang pas-pasan ini taka da yang bisa kita andalkan selain kerja keras, dan kerja keras akan selalu dihargai.”
Mendengar ucapan bapak tak satupun kata keluar dari mulutku, dadaku penuh sesak dengan besarnya harapan mereka. Terkadang timbul sebuah perasaan takut dalam diri ini. Takut tak bisa membalas semua harapan mereka, takut bahwa ternyata apa yang aku lakukan selama ini hanyalah untuk mengecewakan mereka.
“sudahlah pak makan dulu, mau jadi apapun dirimu nanti, selama itu sesuai dengan keyakinanmu ibu akan selalu bangga padamu” sambung ibu
Ucapan ibu adalah ucapan terakhir di meja makan ini yang membahas tentang masa depanku. Percakapanpun berganti kesana sini membahas apa saja yang terlintas dikepala. Mulai dari sawah yang sudah harus dipagari agar tidak diganggu babi, sampai masalah lain yang terkadang aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Matahari mulai meninggi siang ini, mungkin selangkah lagi ia tepat diatas kepala. Dibawah pohon jambu disamping rumahku seekor kucing tidur dengan pulasnya, dengkuranya terdengar jelas menemaniku menunggui warung kecil ini.
Namun belum lama aku memperhatikan kedamaian kucing putih itu, sontak aku terkaget dengan suara yang memanggil namaku, aku tau itu adalah suara irna, temanku dari kampung sini semasa kami bersekolah di SMA kabupaten dulu.
“cie yang melamunkan mantannya.”
“mantan gundulmu, dari mana? Sahutku dengan sedikit kesal
“dari rumah, mana oleh-oleh?” jawab irna dengan tertawa
“roti ada di rumah, ambillah, bawakan aku minum sekaligus”
Irna sudah seperti adik perempuanku sendiri. Keluargaku sudah menganggap irna sebagai bagian keluarga kami, begitu juga keluarga irna menganggapku. Ibunyalah yang membantuku sehingga bisa bersekolah di SMA kabupaten dulu. Namun irna cukup beruntung, tamat SMA dan berkuliah satu semester ada pria baik yang melamarnya. Ia pun memilih untuk menunda sementara kuliahnya.
“apa kabar suamimu sama anakmu?”
“sehat, kalau kau kayak mana kabar mantan?”
“mungkin sehat. Gak ada pertanyaan lain ya?” jawabku kesal
“hahaha, maaf maaf maaf”
“tumben jam segini sudah berkunjung, biasanya masih sibuk mengurusi anak tercinta”
“si baby lagi pigi sama neneknya, kakak juga lagi kerja, daripada suntuk dirumah bagusankan mengunjungi kawan awak. Kamunya pulang kesini gak mau berkunjung kerumah.”
“kayak manalah, nanti suamimu marah pula, hahahaha”
“hmmmm, oh ya, kayak mana kok bisa putus dengan si D itu?” Tanya irna dengan mata penuh selidiknya.
Mendengar pertanyaan irna, kata kata tersendat di tenggorokanku, bukan apa, hanya saja aku tak tau harus menjawab apa. Kalau aku jawab secara versiku, irna akan tau sedikit saja kebohongan yang kubuat, namun jika kuceritakan yang sebenarnya aku yakin akan ada ceramah singkat tentang filosofi kehidupan yang baru saja dijalaninya.
“ ayolah cerita, tak apa, aku sudah pasti tau kamu yang berbuat ulah, hahahh”
Sekian detik berlalu akhirnya aku mengalah, ternyata dengan segala gerak gerik keingintahuannya membuatku menceritakan semuanya. Selain itu tak adil juga rasanya jika aku tak mau berbagi dengannya. Toh dulu ketika ia bermasalah dengansuaminya kupingku juga yang panas mendengar keluh kesahnya.
“wanita itu inginnya laki-laki mau menuruti permintaannya. menuruti permintaannya bukanlah sebuah pengorbanan, tapi hadiah cintamu untuknya”
Seperti serumpun ilalang yang terolang aling kesana kemari dibawa angin, maka seperti itulah perasaanku saat ini. Sesaat aku berharap bahwa pesan yang kukirim akan berbalas manis, sesaat lagi aku berharap bahwa terjadi kesalahan sehingga pesan itu tidak terjadi terkirim.- “apapun balasannya aku harus terima”. Begitu kataku menguatkan diri.
Siang berlalu, senja pun datang menutup hari ini. Kuberanikan diri membuka akun facebookku, belum kulihat ada tanda balasan atas pesan kukirim semalam, hanya tanda yang menunjukan pesan itu telah dibaca. Seketika perasaan takut dan bercampur kecewa membuat sesak dadaku. Takut dia marah dan justru membuatnya menjadi membenciku. Kecewa karena kenapa dia tidak membalas satu kata pun meski itu bukan jawaban yang baik untuk di berikan.
“mungkinkah dia marah?”benakku
Semenit berlalu, pikiranku bercampur aduk bak menjadi kumparan benang kusut. Semua hal yang seharusnya tak terpikirkan terlintas di kepalaku. Tanganku bergerak dengan sendirinya menggulir scroll mouse, mengklik apapun yang terlihat,-“sudahlah fikirku menenangkan diri”
Ingin rasanya segera kuhabiskan malam ini, namun mungkin Tuhan bermaksud lain. Sesaat sebelum laptop ini kututup. Sebuah pesan muncul di monitor itu, entah apa yang terjadi setelah itu, dunia ini serasa berhenti sejenak. Otak ini serasa tak berfungsi dengan baik karena organ pemompa darah ini tidak cukup menyuplaikan nutrisinya. Siapapun mungkin tak bisa mendefenisikan rasanya. Itu balasannya. Akhirnya pesan itu berbalas, akhirnya rasa itu berbalas.
Lima kali aku baca pesan itu lagi tanpa tertinggal satu huruf pun. Aku baca perkata hanya untuk meyakinkan diri bahwa aku tak salah dalam mengartikannya. Jika saja ada orang yang paling bahagia malam ini maka aku adalah salah satunya. Tuhan telah menjawab semua rasaku.
Namun, pada saat dimana tubuh ini bergetar karena rasa yang ia berikan, hati ini bimbang karena kalimat terakhir pada pesannya itu. “ dirinya menganggapku sebagai orang spesial, tapi kenapa kamu tak memintaku menjadikannya orang spesialku juga.” Aku tahu betul maksud dari kalimat itu, hanya saja aku tak tahu harus membalas apa. Semua kemungkinan buruk muncul di benakku.
Malam ini bulan tampak besar menerangi langit para penghuni malam. Lingkaran bulat tidak sempurnanya menghapuskan keburukan hati umat manusia. Kutatap langit itu dengan penuh kedamaian. Sisa rasa senja tadi belum hilang dari tubuhku, gejolaknya masih membuat tubuh ini tak bisa berfungsi dengan baik.
Detik berganti menit, menit berganti jam, aku masih duduk dengan segala ketakutanku. “ Haruskah aku menerima uluran tangannya, atau aku harus melewatkannya untuk menunggu waktu berikutnya ketika hati ini telah siap. Namun, bukankah dari semua waktu, waktu inilah yang aku nantikan. Apakah aku bisa menjawab semua rasa dan harapannya, hanya sajamelewatkan apa yang aku mulai, bisa jadi aku hanya mempermainkannya, dan justru membuatnya membenci semuanya.”
Hingga suara kokok ayam jantan pertama kompleks sini, kepalaku masih dipenuhi segala rasa. Namun, rasa ini bukan lagi seperti rasa yang 8 jam yang lalu, ini bukan ketakutan lagi, ini hanya sekedar rasa senangku yang terlalu besar sehingga mungusik rasa yang lain. Pikiranku telah mantap, akan kuambil semua resikonya.
“ Terima kasih Tuhan, telah memberiku waktu memilikinya, maka aku mohon padamu untuk menjaga waktu itu”
bersambung....
EmoticonEmoticon