Matahari telah meninggi, hampir sama tinggi dengan bocah berumur 3 tahun yang di gendong bapaknya. Hanya tetesan embun di daun keladi itu yang masih tampak bersisa. Lainnya telah pergi dengan caranya sendiri. Ada yang memilih menajatuhkan diri kembali bersatu dengan bumi. Atau ada juga yang memilih kembali keudara untuk turun besok berikutnya. Atau bahkan ada yang bernasib sial diminum bocah bocah edan ketika berangkat sekolah tadi.
“ Sudah siap semua barang-barangmu ?”
“ sudah bu.”
“ Jangan sampai ada yang ketinggalan, nanti ibu susah mengirimnya ke kosmu.” Nasihat ibuku yang super heboh itu.
“ toh buk berangkatannya masih 5 jam lagi. Nanti diingat ingat lagi apa yag tinggal.” Jawabku meyakinkan.
Kalender di ruang tamu itu telah di sobek, berarti sebulan telah aku dikampung ini. Waktunya keberangkatan, kembali ke kehidupan yang penuh dengan tugas dan buku. Oh iya satu lagi kembali ke kota dimana peluangku bertemu gadis itu lagi semakin besar.
“ Assalamualaikum buk,pak, aku pergi. Libur nanti aku balik lagi”
“ waalaikum salam, ya sudah hati-hati disana, jaga kesehatan.”
Mobil membawaku berlalu dengan cepat, meninggalkan rerumputan pinggir jalan yang berlari semakin menjauh. Sekali aku melihat kebelakang, tak lagi ada wajah yang menunggui keberangkatanku tadi. Semua telah kembali pada aktifitasnya masing-masing.
10 jam sudah aku duduk dikursi paling belakang di mobil yang membawaku ini, entah sudah berapa kecamatan yang telah aku lewati. Kaki inipun sudah mulai letih karena ditekuk tanpa henti. Namun itu bukan apa, karena masih ada 6 jam lagi untuk ia bisa menginjak tanah lagi.
Aku melihat kekiri, hanya seorang gadis belia yang tengah tidur dengan pulas mendekap bonekanya. –“Kevin, sang minions sepertinya”. Dua kursi di depanya seorang lelaki paruh baya sepertinya berusaha menahan kepalanya untuk tidak meledak, sesekali ia mengikat kepalanya, memukul mukulnya, sementara kantung muntah tetap ditanganya. Mabuk kendaraan memang hal yang paling menyebalkan.
“ Pak ini ada minyak telon, kalau bapak mau?”
“ Terima kasih nak, bapak punya kok, Memang bapak tak tahan naik kendaraan, ini kalo tidak terpaksa bapak tidak mau pergi.”
Merasa aku tak bisa membantu apapun untuk bapak itu, aku memilih untuk diam, mungkin itu sedikit membantunya. Aku mulai memasang headset ketelingaku, suara kecil untuk diriku sendiri , sekedar untuk menghilangkan rasa bosan. Aku tatap kehidupan diluar keca mobil ini, sungguh luar biasa. Serasa aku dengan orang diluar sana berada di dua dunia yang berbeda. Menyaksikan tingkah mereka didunianya, bergerak seperti wayang tanpa ada dalang yang mengaturrnya. –“atau mungkin lebih tepatnya sebuah pertujukan pantomime”. Bak seperti menonton televise bisu, Semua bergerak membentuk suatu ceritanya sendiri.
Sekejap kita bisa merenungkan diri di dunia yang kecil ini, melihat mereka bergerak dengan indah dari balik kaca ini, membuat aku sadar bahwa waktu mengurungku pada presepsi diriku sendiri. Aku terjebak pada sebuah harapan yang tidak jelas, Aku terjebak pada sebuah ilusi masa remaja yang terlalu lama. Aku terjebak pada perasaanku yang salah padamu.
Blood moon, sebuah fenomena langka terjadi, dunia pun tergemparkan karena keindahan bulan dinodai dengan merahnya darah ini. Banyak cerita mengikuti fenomena ini, mulai dari cerita bulan telah direbut makhluk asing hingga pertanda hari akhir akan tiba. Meski sang pakar astromi telah mengatakan bahwa ini hanya fenomena gerhana biasa yang kebetulan cahara matahari dipantulkan kembali oleh atmosfer bumi. Namun tak akan banyak yang percaya. Karena dunia ini lebih suka cerita yang ada konfliknya. Namun, jika benar Blood Moon adalah pertanda sebuah akhir, maka itu akan menjadi pertanda akhir kisah ini.
Tidak seperti biasanya, hujan tidak turun sore ini. Langit terlihat begitu cerah, Di ujung kejauhan, di garis batas kota ini matahari senja memancarkan warna merah ke segala penjuru yang mampu dijangkaunya. Warna merah yang berbeda dengan darah bulan semalam, tetapi sama indahnya.
Langit belum berubah menjadi gelap, angin pun tak bertiup dengan kencang, tetapi entah hanya dengan tiba-tiba melihatnya didaku seketika terasa sangat sesak. Seolah-olah desengat aliran listrik dengan cepat. Tidak salah lagi, ini adalah perasaan yang sama ketika bertemu dengan dirinya dulu.
Aku yakin adakalanya aku akan melihat gadis itu lagi, tapi tidak hari ini. Namun, silang seberang jalan, seorang gadis berdiri dengan manis bersama 2 temannya. Aku mulai kusut, Tuhan ternyata memberikan kesempatan itu lebih cepat. Satu menit adalah waktuku berfikir, melewatkan kesempatan ini berlalu atau mengahiri kisah ini.
“ Hai ” Sapaku agak canggung
“ Hai ” Jawabnya dengan tenang, tapi terlihat di raut mukanya sedikit kaget
“ Ummm, kamu……….”
“ Vit, klen balik duluan lah ya, ” Katanya pada kedua temanya memotong kata kataku.
Kedua temannya pergi meninnggalkan kami berdua di pinggir jalan ini. Seketika sunyi mengahmpiri, saling tunggu untuk bicara lebih dahulu.
“ Oh ya tadi mau ngomong apa?”
“ Kamu ada waktu gak, ada yang mau bicarain.”
“ boleh, mau ngomong dimana?”
Semula aku ingin mengajaknya pergi ketempat biasanya kami bertemu ketika masih bersama dulu, namun ada sedikit keraguan dalam diriku bahwa ia akan menyutujuinya. Sontak aku menunjuk kursi taman di seberang jalan sana. Aku berjalan satu langkah lebih dulu di depannya, berjalan sedikit lebih pelan agar ia bisa mengimbangi langkahku. Tak seperti dulu aku tak bisa begitu saja memegang tanganya, menuntunnya melewati jalan ini.
Dengan canggung ia mengikutiku sambil menjinjing barang bawaannya. Seketika kutawa diri untuk membawa barang belanjaannya itu. Aku hanya ingin terlihat seperti orang pada umumnya yang takkan membiarkan seorang gadis membawa bawaannya sendiri.
Aku melihat sedikit senyum di wajahnya, entah apa artinya. Mungkin ia senang karena kami bertemu lagi, atau ia hanya senang karena ada orang yang memmbantunya. Akan ada banyak arti dari senyumnya itu, aku hanya bisa berharap bahwa senyum itu memang untukku.
“ kamu apa kabar?” Tanyanya sambil duduknya.
“ baik, kalo kamu gimana?, masih aja suka belanja sebanyak ini?”
“ seperti yang kamu lihat.”
“ kamu masih merokok?”
Aku cukup kaget dengan pertanyaannya, tak kusangka ia menanyakan hal itu secepat ini. Tapi tak mengapa, aku sudah yakin pertanyaan itu akan muncul.
“ Dulu iya, awal awal kamu pergi meninggalkanku, saat itu ketika aku mengingatmu, ketika hatiku mulai kacau lagi karena dirimu, aku akan melakukannya untuk membuktikan bahwa aku tak akan hancur tanpa dirimu.”
“ Jadi, kamu belum berubah sama sekali berarti.”
“ Tapi, belakangan ini aku sudah berhenti. Sekarang aku sudah mengerti kenapa kamu meninggalkanku waktu itu hanya karena hal seperti itu”
“ Kamu mengatakan ini, supaya aku kembali?” pertanyaannya membuat jantungku semakin berdegup kencang.
“ Bukan, aku berkata seperti itu bukan untuk berharap kamu kembali. Aku juga tak akan memintamu kembali karena aku sudah berhenti melakukannya.”
“ Kamu tau, di dunia ini ada orang yang melakukan apapun untuk mempertahankan hubungannya. Ada yang benar-benar menuruti permintaan kekasihnya, tetapi ada juga yang hanya menuruti ketika mereka lagi bersama.”
“ Aku ingat, ketika dulu kami mengatakan bahwa itu bukan sebuah pengorbanan, tetapi hadiah dari cintamu.”
“ Sekarang apa yang akan kamu lakukan, ?” Tanyanya padaku
“ Entahlah, untuk saat ini aku tak tau apa yang akan kulakukan. Aku belum cukup berani untuk meminta kembali. Meski aku ingin, bukan apa, hanya saja aku yang sekarang juga masih belum pantas untukmu.”
“ Tapi kalau aku memintamu kembali apa kamu akan kembali?” Tanyaku padanya.
Ia tak menjawab pertanyaanku. Seketika membuat aku takut untuk mendengarkan jawabannya. Kesunyian kembali menghampiri kami. Aku terhenti pada pertanyaanku yang tadi. Sementara dia hanya dia menatapku. Sesekali ia melihat ke sekeliling taman ini. Melihat anak kecil yang sedang merengek meminta eskrim pada orang tuanya.
“ Kamu lihat anak kecil disana, Ia sedang menangis meminta agar dibelikan eskrim. Ia menangis, bukan hanya meminta. Ia berusaha meluluhkan hati orang tuanya dengan menangis. Sementara kamu, kamu hanya memintamu kembali tapi berusaha untuk meluluhkan hatiku untuk kembali padamu. Kamu tak perlu menangis untuk memintaku kembali. Tapi setidaknya yakinkan aku untuk kembali.”
“ Itulah mengapa aku katakan aku belum pantas untukmu. Saat ini aku belum bisa meyakinkanmu untuk kembali.”
“ Mungkin karena kamu tak lagi mempunyai rasa itu padaku.” katanya padaku
“Aku masih mencintaimu, ketika aku terbangun ditengah malam aku tetap saja merindukanmu, aku tetap saja mengingat namamu ketika tidurku. Rasa itu masih ada, hanya saja rasa ini rasa yang berbeda. Ini bukan lagi rasa yang seperti dulu. Ini bukan lagi rasa yang memberontak ingin memilikimu. Ini lebih kepada rasa ingin membahagiakanmu. Itu sebabnya hingga sekarang aku belum berani memintamu kembali. Karena aku takut belum bisa membahagiakanmu.”
“ Bagaimana dengan dirimu, masih adakah rasa itu untuku?”
“ Saat seorang wanita jatuh cinta, maka tak akan mudah ia melupakan cintanya. Jikapun ia lari kepada yang lain itu hanya agar dapat kembali rasa yang sama, tapi ia takkan benar-benar lupa akan cintanya.”
Aku senang mendengar jawabannya, namun disatu sisi aku juga takut ia akan pergi ke hati yang lain untuk mendapatkan rasa yang sama.
“ Masih adakah tempat dihatimu jika aku memintamu kembali nanti.” Tanyaku padanya.
“ Menunggu adalah hal yang menyenangkan. Semakin lama kita menunggu semakin bahagia kita jika bertemu. Seperti hari ini.”
“ Pergilah, Berjalanlah lurus kebarat, maka kamu akan datang lagi ketempat ini dari timur. Dan aku akan duduk dikursi ini.” Katanya padaku.
Seperti cerita tentang hujan, jika ia jatuh dibukit itu maka air akan sampai ke tanah ini. Namun ia juga akan kembali kebukit itu tanpa pernah kita sadari. Seperti katamu aku akan pergi, kali ini aku akan berjalan lurus kedepan. Agar kita bisa bertemu kembali.
“ Terima kasih karena masih menyimpan rasa itu untukku.”
########### end
EmoticonEmoticon